UPACARA
NGALUNGSUR
Waktu pelaksanaan 14
Maulud pagi hari Upacara yang dilakukan oleh juru kunci yang merupakan bukti
bahwa mereka masih melestarikan dan melaksanakan tradisi leluhurnya juga
mensosialisasikan keberadaan benda-benda pusaka peninggalan Sunan Rohmat Suci.
Pusaka tersebut merupakan simbol perjuangan dan perilaku Sunan Rohmat Suci
semasa hidupnya dalam memperjuangkan agama Islam. Benda-benda pusaka tersebut
dicuci dengan disaksikan oleh peserta upacara. Lokasi: Kampung Godog Desa Lebakagung Kecamatan
Karangpawitan,Kabupaten Garut Koordinat : 7° 14' 24" S, 107° 55' 36".
Ngalungsur atau tutun
zimat atau pajang jimat. Upacara
tradisional yang dilakukan antara tanggal 12-14 maulid ini pada intinya
dimaksudkan sebagai ungkapan penghormatan dari masyarakat terhadap sunan godog.
Karena jasanya dalam menyebarkan agama islam di daerah garut. Ungkapan rasa
hormat tersebut direalisasikan dengan cara Ngamumule yang artinya menjaga dan
merawat benda-benda pusaka, seperti berbagai bentuk dan jenis keris, kitab
al-quran, cis, skin dan sebagainya. Yang dianggap sebagai peninggalan sunan
godog, melalui upacara ngalungsur.
Ngalungsur atau turun
zimat memiliki makna dan maksud bahwa benda-benda pusaka peninggalan sunan
godog itu sudah waktunya dikeluarkan dari dalam kandaga (peti) yang disimpan
dibagian atas sebuah ruangan dekat kandaga, serta mengeluarkan benda-benda
tersebut. Kandaga diturunkan, kemudian dibuka bagian penutupnya dan dikeluarkan
satu persatu. Masing-masing benda pusaka untuk dimandikan dengan menggunakan
air, dan dicampuri minyak wangi khusus pula dan berbagai macam kembang/bunga.
Biasanya seorang juru kunci (kuncen) dipercayakan oleh 40 orang lebih anggota
ikatan juru kunci (IKCI) Makam keramat godog dan diberi wewenang mengurus serta
memandikan benda.
Biasanya seorang juru
kunci dipercayakan oleh 40 orang lebih anggota ikatan juru kuncu (IKCI) makam
keramat godong dan diberi wewenang mengurus serta memandikan benda-benda pusaka
pada upacara ngalungsur itu. Sebelum dilakukan ngalungsur atau turun zimat
diadakan dulu serimonial upacara yang dihadiri aparat pemerintah. Mulai camat
hingga pejabat dari tingkat kabupaten, serta sejumlah anggota masyarakat luas
yang sengaja datang, hendak menyaksikan upacara itu, disamping berziarah pada
acara ini biasanya berisi sambutan baik dari pejabat pemerintah, maupun dari
juru kunci sendiri. Demikian upacara ngalungsur atau turun zimat setiap satu
tahun sekali dilaksanakan oleh masyarakat. Masyarakat desa lebak agung
kecamatan karangpawitan dan sekitarnya hingga sekarang masih meyakini bahwa
benda-benda pusaka itu adalah peninggalan sunan godog alias prabu keyan
santang, yang harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan.
Ngalungsur atau Turun Zimat atau Pajang Jimat. Upacara
Tradisional yang dilakukan antara tgl 12-14 Maulid ini pada intinya dimaksudkan
sebagai ungkapan penghormatan dari masyarakat terhadap Sunan Godog, karena
jasanya dalam menyebarkan agama Islam di daerah Garut. Ungkapan rasa hormat
tersebut direalisasikan dengan cara
ngamumule (menjaga dan merawat)
benda-benda pusaka seperti berbagai bentuk dan jenis keris, Kitab Al- Quran,
Cis, Skin dan sebagainya, yang dianggap sebagai peninggalan Sunan Godog,
melalui upacara Ngalungsur .
Ngalungsur
(=menurunkan- Ind) atau Turun Zimat memiliki makna dan maksud bahwa
benda-benda pusaka peninggalan Sunan Godog itu sudah waktunya dikeluarkan dari
dalam Kandaga (peti) yang disimpan di bagian atas sebuah ruangan dekat bangunan
makam, pada setiap tanggal 14 Maulid. Selain tanggal 14 maulid ditabukan
menurunkan Kandaga, serta mengeluarkan benda-benda pusaka tersebut. Kandaga
diturunkan, kemudian dibuka bagian penutupnya dan dikeluarkan satu persatu,
masing-masing benda pusaka untuk
dimandikan (dicuci) dengan
menggunakan air khusus dicampuri minyak wangi khusus pula dan
berbagai macam kembang/bunga. Biasanya seorang juru kunci (kuncen) dipercayakan
oleh 40 orang lebih anggota Ikatan Juru Kunci (IKCI) Makam Keramat Godog dan
diberi wewenang mengurus serta memandikan benda-benda pusaka pada upacara Ngalungsur
itu. Sebelum dilakukan
ngalungsur atau Turun Zimat
diadakan dulu serimonial upacara yang dihadiri aparat pemerintah (mulai Camat
hingga pejabat dari tingkat Kabupaten), serta sejumlah anggota masyarakat luas
yang sengaja datang hendak menyaksikan Upacara itu, di samping berziarah. Pada
acara ini biasanya berisi sambutan baik dari pejabat pemerintah, maupun dari
juru kunci sendiri.
Demikian Upacara Ngalungsur
atau Turun Zimat setiap satu tahun sekali dilaksanakan oleh masyarakat.
Masyarakat Desa Lebak Agung Kecamatan Karangpawitan dan sekitarnya hingga
sekarang masih meyakini bahwa benda-benda pusaka itu adalah peninggalan Sunan
Godog alias Prabu Keyan Santang, yang harus dijaga, dipelihara dan
dilestarikan.
Upacara adat
"Ngalungsur Pusaka" sebagai rangkaian kegiatan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW di makam keramat Godog, Kampung Godog Makam, Desa Lebak Agung,
Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis.
Juru kunci Makam Godog
Idun (60) menjelaskan upacara adat "Ngalungsur Pusaka" tersebut sebagai
upaya penghormatan sekaligus melestarikan benda-benda bekas perjuangan
mengembangkan ajaran agama Islam.
Benda-benda pusaka
tersebut, kata Idun, merupakan peninggalan Prabu Kiansantang atau disebut Syech
Sunan Rochmat Suci salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan.
Ia menjelaskan, Prabu
Kiansantang merupakan seorang anak dari Raja Padjadjaran yakni Prabu Siliwangi,
sehingga setiap hari-hari besar Islam selalu dikunjungi peziarah dan digelar
"Ngalungsur Pusaka".
"Ini sebagai
bentuk melestarikan benda-benda peninggalan yang setiap tahunnya dibersihkan
sebagai penghormatan kita," kata Idun.
Benda pusaka
peninggalan orang terdahulu itu diantaranya pusaka Duhung seperti keris, Rante
Jagad, Talapok, serta alat-alat pertanian yang dijadikan alat untuk memakmurkan
masyarakat.
Pelaksanaan upacara
adat tersebut di gelar dengan membawa benda pusaka yang sebelumnya disimpan di
makam Godog untuk dibawa ke aula sekitar makam tersebut.
Dari lokasi penyimpanan
hingga ke aula, benda pusaka tersebut dibawa oleh masyakat atau juri kunci
sambil membacakan shalawat.
Masyarakat yang membawa
benda pusaka tersebut mengenakan pakaian gamis atau jubah dengan warna identik
hijau yang selanjutnya menjaga di aula sebelum acara membersihkan pusaka,
setelah itu benda pusaka kembali disimpan di tempat semula.
Pelaksanaan
"Ngalungsur Pusaka" tersebut diisi dengan khitanan tiga orang anak
laki-laki sebagai syarat menjadi umat Islam.
Kegiatan tersebut
dihadiri peziarah dari berbagai luar kota termasuk warga sekitar Kabupaten Garut
dan para perwakilan pimpinan pemerintah daerah.
"Ini memberikan
ingatan, memperjuangkan, membersihkan, merawat, melestarikan, makam godog,
sebagai penghormatan datangnya beliau (Kanjeung Syeh Sunan Rochmat Suci),"
kata Idun.
PRABU
KIAN SANTANG
Godog adalah suatu
daerah pedesaan yang indah dan nyaman berjarak 10 km kearah timur dari kota
Garut. Berada pada desa Lebakagung, kecamatan Karangpawitan, kabupaten Garut.
Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam
Godog Syeh Sunan Rohmat Suci.
Hampir setiap waktu
banyak masyarakat yang ziarah, apalagi pada bulan-bulan Maulud. Prabu
Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan
raja Pajajaran yang bernama prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala
Wangi. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang
Sungsang.
Prabu Kiansantang lahir
tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22 tahun
tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2
yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan
penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi
panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan
penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk
Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis
Bogor.
Peristiwa itu merupakan
kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui
oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu
Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa
mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun,
tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam
arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya disejagat pulau
Jawa.
Sering dia merenung
seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat
menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada
ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat
menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan
dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun
tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Tiba-tiba datang
seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan
Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah.
Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini
dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.
Lalu orang tua itu
berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan
Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di
ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang -
Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua
syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348
Masehi.
Setiba di tanah Mekah
beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun
Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu
Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan
kepada laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina
Ali" Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke
tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat
laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh
Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata,
"Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong
ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali
mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina
Ali."
Terpaksalah Galantrang
Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat
tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan,
dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut,
malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi
tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut
tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada
kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan
keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali
mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba,
tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat
syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah
dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang
keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.
Dalam hatinya ia
bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang
tua itu tadi”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu.
Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum
masuk Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba
di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan
Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat”. Galantrang Setra kaget
mendengar sebutan Ali tersebut.
Ternyata laki-laki yang
baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang
meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia
terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah
Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui
Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi Prabu
Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari
ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk
menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran
dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di
tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia
memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk
agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya yang
mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah, jabatan
kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu
dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah
Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu.
Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian beliau kembali ke
Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah
Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat
berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama
Islam. Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama
Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa
keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka.
Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di
lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi
mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan
akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja
mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku
muninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan
keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan
belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar ayahnya.
Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang
yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun
Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke
salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi
Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal
Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi
masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu
Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak
memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Prabu Kiansantang
kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil
menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab
sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi
tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan
tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.
Sekarang lokasi istana
itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang
menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan
orang yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat
menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I.
Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus
uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.
Dalam uzlah itu beliau
diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam
rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk
memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung
Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang
berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat
bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka
disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti
dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan
kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai
serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu
Kiansantang meninggalkan Pajajaran.
Yang dituju pertama
kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun
peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi
ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu
Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di
gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/
godeg.
Dengan godegnya peti
tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah,
beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini
diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat
mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari
makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti
menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau
wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat
ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam
Karamat Godog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar