Sabtu, 10 Maret 2018

Perang Diponegoro Islam di Indonesia melawan ekspansi barat rangkuman

Sejak akhir abad ke-18 Mataram sebagai kekuatan politik dan militer betul-betul tidak berdaya di hadapan kekuatan kolonial Campur tangan pemerintah kolonial terhadap kehidupan kraton terus menarik. Hal ini lebih lanjut menyebabkan terjadinya krisis dalam kesadaran budaya Jawa. Dampak dari semakin berkuasanya pemerintah kolonial dirasakan sangat menghimpit dan menekan kehidupan rakyat. Sementara itu, kalangan kraton juga mengalami pergeseran budaya akibat pengaruh pemerintah kolonial dan kebudayaan Barat. Demikianlah keadaan pulau Jawa sebelum meletusnya Perang Diponegoro

Dinamakan dengan Perang Diponegoro karena perang melawan kolonial ini dipimpin Pangeran Diponegoro. Dia adalah putera Sultan Hemengku Buwana lll yang diasuh dan dididik eyangnya, istri Hamengku Buwana l. Ratu Ageng di ndalem Tegalreja. Sewaktu masih kecil dia sudah mendapat pelajaran agama dan tumbuh menjadi seorang yang saleh, dekat dengan rakyat dan bergaul dengan

masyarakat ramai.

Dia menolak dijadikan sebagai putera mahkota yang akan menggantikan ayahnya sebagai sultan pada saatnya nanti. Dia menyilakan kepada adiknya, Jarot. Pangeran Jarot betul-betul naik tahta dengan gelar Hamengku Buwana IV setelah ayahnya meninggal dunia pada 1814. Ketika itu Pangeran Jarot berusi 13 tahun Dia wafat pada 1822 dan digantikan puteranya yang berusia tiga tahun, yaitu Pangeran Menol. Hal itu memberi kesempatan kepada Patih Danureja IV. menjalankan peran utama dalam mengurus jalannya kesultanan Yogyakarta. Patih Danureja IV bersahabat erat dengan Belanda. Kebudayaan Barat yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam dan dan nilai-nilai budaya Jawa, semakin deras memasuki kraton Yogyakarta. Dalam keadaan demikian, Pangeran Diponegoro justru dipandang sebagai ancaman oleh Patih Danureja IV dan Belanda.

Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah Hindia Belanda membuat jalan yang menerobos tanah milik Pangeran Diponegoro, di samping membongkar beberapa makam yang dipandng keramat Patok-patok yang ditanam pemerintah Belanda dicabut pihak Pangeran Diponegoro.

Peperangan dalam arti sebenarnya bermula pada 20 Juli 1825, ketika pasukan Belanda dibantu

Pasukan Patih Danureja IV mengepung Tegalreja. Oleh karena itulah Pangeran Diponegoro menyatakan perang terbuka melawan Belanda dan Patih Danureja IV. Rakyat yang bersimpati kepada Pangeran Diponegoro segera berdatangan menyediakan diri menjadi prajurit. Para ulama yang masih berada di kraton Yogyakarta, keluar dari kraton untuk bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Ketika itu Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan tujuan perlawanan terhadap Belanda, para pejabat dan agen Belanda lainnya. Tugas perang itu adalah; pertama, mencapai cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan agama Islam; kedua, mengembalikan keluhuran adat istiadat Jawa, yang bersih dari pengaruh Barat. Sebagai pemimpin tertinggi dalam peperangan itu, Pangeran Diponegoro membagi tugas kepada para pengikutnya. Untuk memperkuat semangat, Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi Jawa dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin Kalifatullah ing Tanah Jawa.

Dalam pertempuran-pertempuran awal, pasukan Dipenogoro memperoleh kemenangan. Kekalahan-kekalahan yang diderita pasukan Belanda tidak menyebabkan berkurangnya bala tentara Belanda, karena pemerintah Belanda tanpa henti terus mendatangkan bala bantuan militer dari berbagai daerah ke Yogyakarya. Sementara itu, pertempuran yang berlangsung beruntun mendatangkan kelelahan di kalangan pasukan Diponegoro, di samping menelan banyak korban. Karena itu, sejak akhir 1828, pasukan Belanda mulai berhasil mengalahkan pasukan-pasukan kecil Diponegoro yang terpencar-pencar. Untuk mengalahkan Pangeran Diponegoro yang terus memperlihatkan ketegarannya, pasukan Belanda menyusun siasat licik. Mereka merencanakan menjebak Pangeran Diponegoro melalui perjanjian perdamaian. Dalam perundingan damai yang diselenggarakan pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan, dibawa ke Semarang kemudian ke Batavia. Dia kemudian dibuang ke Menado pada 3 Mei 1830; pada 1834 dipindahkan ke Ujung Pandang, dimana dia meninggal dunia pada 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.

Keterlibatan ulama dan warga pesantren dalam barisan Pangeran Diponegoro menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menciptakan jarak antara ulama dengan para pemimpin formal. Bahkan kemudian usaha ke arah birokratisasi ulama dan domestitikasi Islam dijalankan.

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

Bismillah mulai lagi di tahun 2025

 Apakah kecerdasan AI seperti chat GPT mengambil sumber dari blog?